Menempatkan kembali Nash-Nash Imam Syafi’i pada pemahaman yang benar (bag.2)
4. Nash Imam Syafi’i mencela ilmu kalam
Sebagian kecil umat Islam yang anti ilmu kalam sering mengutip nash-nash Imam Syafi’i untuk mendukung pendapatnya sesatnya ilmu kalam. Lalu mereka berteriak, “Coba lihat ini perkataan Imam Syafi’i, kenapa pengikut mazhab Imam Syafi’i masih juga masih mengagung-agungkan ilmu kalam dalam berdalil dalam bidang akidah ?. Sedangkan Imam Syafi’i ikutan mereka mencela ilmu kalam”. Perkataan Imam Syafi’i yang sering mereka kutip ini antara lain :
a. Al-Rabi’ berkata :
رأيت الشافعي وهو نازل من الدرجة وقوم في المجلس يتكلمون في شيء من الكلام فصاح وقال: إما أن تجاورونا بخير وإما أن تقوموا عنا
Aku melihat Syafi'i turun dari tangga sementara sebagian orang di majelis sedang berbicara tentang sedikit ilmu kalam, maka Syafi'i pun berteriak seraya berkata : "Hendaknya mereka berdekatan dengan kita dengan kebaikan atau hendaknya mereka pergi meninggalkan kita.[1]
b. Abu Tsur dan Husain mengatakan, aku mendengar Syafi’i berkata :
حكمى في أهل الكلام أن يضربوا بالجريد ويحملوا على الإبل، ويطاف بهم في العشائر والقبائل، وينادى عليهم: هذا جزاء من ترك الكتاب والسنة وأقبل على الكلام.
Hukumanku bagi para ahli kalam agar mereka dipukul dengan pelepah kurma lalu di diangkut di atas unta lalu di arak di kampung-kampung dan kabilah-kabilah, lalu diserukan atas mereka : "Inilah balasan orang yang meninggalkan al-Qur'an dan Hadits lalu menuju ilmu kalam.[2]
c. Yunus bin Abd al-A’la berkata :
أتيت الشافعي بعد ما كلم حفص الفرد فقال: غبت عنا يا أبا موسى، لقد اطلعت من أهل الكلام على شيء والله ما توهمته قط، ولأن يُبْتَلَى المرءُ بجميع ما نهى الله عنه خلا الشرك بالله، خير من أن يبتليه الله بالكلام
Aku mendatangi Syafi’i setelah beliau berbincang tentang ilmu kalam dengan Hafash al-Fard, beliau mengatakan, menjauhlah dari kami hai Abu Musa, sungguh aku telah mengetahui sesuatu dari ahli kalam, Demi Allah, itu hanya waham kamu saja dan sungguh ditimpa seseorang dengan semua larangan Allah selain syirik kepada Allah itu lebih baik dari pada ditimpa dengan ilmu kalam.[3]
d. Ibn Abd al-Hakam mengatakan :
كَانَ الشّافعيّ بعد أنّ ناظر حفصَا الفَرْد يكره الكلام.ويقول ما شيء أبغض إليّ من الكلام وأهله.
Sesudah berdialoq dengan Hafash al-Fard, Syafi’i membenci ilmu kalam dan beliau berkata : “Tidak ada sesuatupun yang sangat aku benci melebihi dari ilmu kalam dan ahlinya. [4]
Sebenarnya berdasarkan perkataaan Imam Syafi’i di atas, apakah Imam Syafi’i benar-benar mencela ilmu kalam secara mutlaq atau tidak demikian adanya, akan tetapi yang beliau cela adalah ilmu kalam tertentu yang berkembang pada zaman beliau? Al-Baihaqi seorang ulama besar dalam ilmu hadits yang meriwayatkan perkataan-perkataan Imam Syafi’i tersebut sebagaimana dikutip di atas mengatakan, yang dicela oleh Imam Syafi’i ini adalah ilmu kalam yang digunakan oleh Hafash al-Fard dan yang sepaham dengannya dari ahli bid’ah. Inilah maksud perkataan Syafi’i dalam mencela ilmu kalam dan ahlinya. Cuma kadang periwayatan perkataan Imam Syafi’i tersebut diriwayat secara mutlaq, kadang-kadang perawinya meriwayat secara berkaid, sehingga periwayatan yang berkaid ini menjadi dalil dalam memaknai riwayat secara mutlaq.[5]
Diantara riwayat perkataan Imam Syafi’i mencela ilmu kalam yang disebut secara berkaid adalah sebagai berikut :
a. Ibnu al-Jaruud berkata :
دخل حفص الفرد على الشافعي فكلمه، ثم خرج إلينا الشافعي فقال لنا: لأن يلقى اللهَ العبدُ بذنوب مثل جبال تِهَامَة خير له من أن يلقاه باعتقاد حرف مما عليه هذا الرجل وأصحابه. وكان يقول بخلق القرآن.
Al-Fard menemui Syafi’i serta membicarakan ilmu kalam dengannya. Kemudian Syafi’i keluar menemui kami seraya berkata : “Pertemuan seorang hamba Allah dengan Allah dengan dosa sebanding gunung Tihamah lebih baik dari pertemuan dengan Allah dengan i’tiqad satu huruf dari laki-laki ini dan teman-temannya, laki-laki ini mengatakan al-Qur’an makhluq.”[6]
b. Al-Rabi’ berkata :
حضرت الشافعي وحدَّثني أبو شعيب إلا أني أعلم أنه حضر عبد الله بن عبد الحكم ويوسف بن عمرو بن يزيد وحفص الفرد وكان الشافعي يسميه المنفرد، فسأل حفص عبد الله بن عبد الحكم فقال: ما تقول في القرءان، فأبى أن يجيبه فسأل يوسف بن عمرو،فلم يجبه وكلاهما أشار إلى الشافعي، فسأل الشافعي فاحتجَّ الشافعي، فطالت المناظرة وغلب الشافعي بالحجة عليه بأن القرءان كلام الله غير مخلوق، وكفَّر حفصاً الفرد، قال الربيع: فلقيت حفصاً الفرد في المسجد بعدُ فقال: أراد الشافعي قتلي
Aku menghadiri Imam Syafi’i, dan Abu Syu’aib bercerita kepadaku, hanya saja aku mengetahui bahwasanya telah hadir Abdullah bin Abdul Hakam, Yusuf bin Amr bin Yazid dan Hafsh al-Fard. Syafi’i menamakannya al-Munfarid (yang suka nyeleneh). Lalu Hafsh bertanya kepada Abdullah bin Abdul Hakam: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?” Abdullah tidak mau menjawabnya. Lalu Hafsh bertanya kepada Yusuf bin Amr. Yusuf juga tidak menjawabnya. Lalu keduanya mengisyaratkan kepada Syafi’i. Lalu Hafsh bertanya kepada Syafi’i, lalu Syafi’i mematahkan hujjahnya. Kemudian terjadilah perdebatan panjang. Akhirnya Syafi’i memenangkan hujjah atas Hafsh bahwa al-Qur’an itu firman Allah dan bukan makhluq, dan ia mengkafirkan Hafsh.” Al-Rabi’ berkata: “Lalu aku bertemu Hafsh sesudah itu di Masjid. Ia berkata: “Syafi’i hendak membunuhku.”[7]
Dua riwayat ini mengajarkan kita, sebenarnya perkara yang ditentang dan ditolak oleh Imam Syafi'i ialah ilmu kalam golongan yang menyeleweng dari pada ajaran Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah seperti golongan al-Mu'tazilah yang berpendapat al-Qur’an adalah makhluq, jadi bukan ilmu kalam secara mutlaq.
Al-Hafiz Ibn 'Asakir dalam kitabnya, Tabyin Kadzibil-Muftari menyebut perkataan Syafi’i dengan redaksi berikut :
لأن يلقى الله عزّ وجلّ العبدُ بكل ذنب ما خلا الشرك خير له من أن يلقاه بشىء من هذه الأهواء
Bahwa pertemuan seorang hamba dengan Allah azza wa-jalla dengan setiap dosa yang selain dosa syirik itu lebih baik baginya daripada dia bertemu Allah dengan sesuatu yang muncul daripada hawa nafsu (al-ahwa’).[8]
Kemudian Al-Hafiz Ibn 'Asakir menjelaskan pendirian yang sebenarnya dari Imam Syafi'i terhadap ilmu kalam, yakni perkara yang ditentang dan ditolak oleh Imam Syafi'i adalah ilmu kalam golongan al-Ahwa’ yaitu ilmu kalam golongan yang menyeleweng dari pada ajaran Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah. Adapun ilmu kalam golongan Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, maka itu tidak ditentang dan ditolak beliau. Karena itu, Al-Hafiz Ibn 'Asakir setelah mengutip perkataan-perkataan Imam Syafi’i di atas mengatakan :
والكلامُ المذموم كلام أصحاب الأهوية وما يزخرفه أرباب البدع الـمُرْدية فأما الكلام الموافق للكتاب والسنة الموضح لحقائق الأصول عند ظهور الفتنة فهو محمود عند العلماء ومن يعلمه وقد كان الشافعي يحسنه ويفهمه وقد تكلم مع غير واحد ممن ابتدع وأقام الجحة عليه حتى انقطع
Dan perbahasan kalam yang dicela ialah perbahasan kalam golongan Ahwiyyah (pengikut hawa nafsu yang juga digelari sebagai Ahlul-Ahwa’) dan sesuatu yang dianggap baik oleh ahli bid’ah yang menyeleweng. Adapun perbahasan kalam yang selaras dengan al-Kitab (al-Quran) dan al-Sunnah yang menjelaskan hakikat-hakikat usul ketika munculnya fitnah maka ini suatu hal yang terpuji di menurut para ulama dan siapa yang mengetahuinya. Sesungguhnya Imam Syafi’i menguasai dengan baik dan memahami bahasan kalam ini, dan beliau juga membahas atau berbicara dengan ilmu kalam dengan beberapa orang daripada golongan yang telah melakukan bid’ah dan beliau telah dapat mengalahkan hujah atas ahli bid’ah tersebut sehingga putus.[9]
Al-Baihaqi, setelah menyebur beberapa riwayat yang menerangkan kemampuan Imam Syafi’i menguasai ilmu kalam dengan baik sehingga beliau mampu menolak hujjah ahli bid’ah seperti Hafash al-Fard sebagaimana riwayat Ibn al-Jaruud dan al-Rabi’ di atas, menjelaskan kepada kita bahwa tidak mungkin Imam Syafi’i menolak ilmu kalam secara mutlaq, padahal beliau sendiri menguasai ilmu tersebut untuk menolak ahli bid’ah yang muncul pada zamannya. Dalam Manaqib al-Syafi’i, al-Baihaqi mengatakan :
كيف يكون كلام أهل السنة والجماعة مذموماً عنده وقد تكلم فيه، وناظر من ناظره فيه، وكشف عن تمويه من ألقى إلى سمع بعض أصحابه من أهل الأهواء شيئاً مما هم فيه؟
Bagaimana mungkin ilmu kalam ahlussunnah wal Jama’ah tercela menurut Imam Syafi’i, sedangkan beliau sendiri membahas ilmu kalam dan berdialoq dengan lawan dialoqnya tentang ilmu kalam serta membongkar kepalsuan mereka kepada orang yang pernah mendapati mendengar sebagian sahabatnya dari ahli al-ahwa tentang pendapat mereka.[10]
Menempatkan kembali Nash-Nash Imam Syafi’i pada pemahaman yang benar (bag.1)
Menempatkan kembali Nash-Nash Imam Syafi’i pada pemahaman yang benar (bag 3)
Menempatkan kembali Nash-Nash Imam Syafi’i pada pemahaman yang benar (bag 3)
[1]Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 459
[2] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 462
[3]Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 453-454
[4] Al-Zahabi, Tarikh al-Islam, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 146
[5]Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 454
[6]Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 454
[7] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 455
[8] Ibn 'Asakir, Tabyin Kadzibil-Muftari, Hal 337
[10]Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 454-455