Merebus ayam sebelum dikeluarkan kotorannya

Sebagian sahabat kita pernah bertanya bagaimana hukum merebus ayam atau bebek sebelum mengeluarkan kotorannya sebagaimana sering dilakukan di pasar-pasar ayam/bebek.
Jawabannya : tentu dapat menyebabkan najis daging ayam tersebut, karena air panas dapat meresapkan najis pada bagian-bagian dalam daging. Namun demikian, daging ayam tersebut dapat suci kembali dengan hanya menyiram bagian luarnya saja. Berikut nash para ulama kita menyangkut hal tesebut di atas, yakni :
1.    Disebut dalam Fathul Mu’in sebagai berikut :
وإن كان حبا أو لحما طبخ بنجس، أو ثوبا صبغ بنجس، فيطهر باطنها بصب الماء على ظاهرها
Seandai biji-bijian atau daging dimasak dengan najis atau pakaian dicelup dengan najis, maka bathinnya itu suci dengan sebab dituang air atas bagian luarnya.[1]

2.    Disebut dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin sebagai berikut :

لحم عليه دم غير معفوّ عنه ذر عليه ملح فتشربها طهر بإزالة الدم وإن بقي طعم الملح كحب أو لحم طبخ ببول فيكفي غسل ظاهره وإن بقي طعم البول بباطنه إذ تشرب ما ذكر كتشرب المسام كما في التحفة
Daging diatasnya ada darah yang tidak dimaafkan serta ditaburi garam yang meresap dalam daging, maka ini suci dengan sebab menghilangkan darah, meskipun tersisa rasa garam, sama halnya daging yang dimasak dengan kencing, maka memadai dengan membasuh bagian luarnya saja, meskipun masih tersisa rasa kencing pada bagian dalamnya. Karena peresapan tersebut sama dengan peresapan yang terjadi pada lobang pori-pori kulit sebagaimana tersebut dalam al-Tuhfah.[2]

3.    Dalam Syarah Bahjah Wardiyah disebutkan :
)قوله : لا يشترط العصر ) سواء في ذلك ما له خمل أي : وبر كالبساط وما لا خمل له فما في الروضة والمجموع من أنه لو طبخ لحم بماء نجس نجس ظاهره وباطنه و يكفي غسله ويعصر كالبساط محمول على الندب أو الضعيف وتوجيه القمولي بأن النجاسة تدخل في باطن اللحم فيحتاج لإخراجها بالعصر فغير مستقيم لأن القول بعدم اشتراط العصر وهو الأصح مبني على الأصح وهو طهارة الغسالة
(Perkataan pengarang : “tidak disyaratkan memerasnya), itu baik yang berbulu seperti permadani maupun yang tidak berbulu. Karena itu, yang tersebut dalam al-Raudhah dan al-Majmu’ bahwa seandainya daging dimasak dengan air najis, maka najislah dhahir dan bagian dalamnya, akan tetapi memadai dengan membasuh dan memerasnya seperti permadani, ini dipertempatkan pada hukum sunnat atau pendapat dha’if. Adapun alasan al-Qamuli bahwa najis masuk dalam bagian dalam daging, maka perlu dikeluarkannya dengan memeras, ini tidak benar, karena pendapat yang mengatakan tidak disyaratkan peras – pendapat ini adalah lebih shahih – dibangun atas pendapat yang lebih shahih, yakni pendapat suci air bekas basuhan.[3]
4.    Dalam Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Manhaj disebutkan :
لو ابتل حب بماء نجس أو بول صار رطبا وغسل بماء طاهر حال الرطوبة طهر ظاهرا وباطنا كذا اللحم إذا طبخ بهما وغسل يطهر ظاهرا وباطنا ز ي
Jika basah biji-bijian dengan air najis atau kencing yang menyebabkan lembab, kemudian dibasuh dengan air yang suci pada ketika lembab tersebut, maka suci dhahir dan bagian dalamnya. demikian juga daging apabila dimasak dengan keduanya, kemudian dibasuh, maka suci dhahir dan bagian dalamnya. Demikian al-Ziyadi.[4]




[1] Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 95
[2] Sayyed Abdurrahman Ba’Alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 17
[3] Zakariya al-Anshari, Syarah bahjah Wardiyah,Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, juz.1, Hal 167-168
[4] Al-Bujairumi, Hasyiah Bujairimy `ala al-Manhaj, Darul Fikri, Beirut, juz.1, Hal 101

Popular posts from this blog

Hadits qudsi “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi...”

5280. KAJIAN KITAB MATAN TANQIHUL QOUL [Bab 13 : Keutamaan Puasa]

CARA MENGETAHUI TURUNNYA MALAM LAILATUL QODAR